Kamis, 24 November 2016

Berenanglah, Nak



"Berenanglah anakku, niscaya kau akan tau dalamnya lautan ini."
Tersirat sebuah kata Ibu
Sisir rapi menjuntai di kepala
menyapu indah turun,
dari pangkal ke ujung rambutnya

Bagaimana aku tak tahu denganmu
Bisik langit untuk telapak kakimu

Dan bagaimana aku tak tahu dirimu
Menikmati kesusahan,
berbagai kesulitan dariku
bertahun-tahun
Hakikatmu kuat sebagai ibu
Tanpa peduli bisikan tak searah,
atau gagak yang sengaja lewat,
membiarkan semuanya begitu saja

Bagaimana lagi aku tak ingat kau, Ibu?
Yang terlalu sering ceramah pagi,
menyadarkanku dari mimpi masa lalu,
menyisir setiap helai rambutku,
rapi memetik ilmu demi diriku

Atau sore hari
Tak pernah lupa menjemputku
Mengomel selalu mengajakku pulang
dari lapangan yang sedang kumainkan
sebuah bola
"Pulanglah, Nak.
Sudah malam, waktunya membersihkan diri."

Begitu juga malamnya
Selalu terngiang suaramu, Ibu
Makan, minum, apapun itu
tak luput dari ceramahmu di pagi hari tadi
Dongeng pengantar tidur,
jadi rutinitas baru untukmu
Setelah aku bersamamu

Bagaimana pula aku tak mengindahkanmu, Ibu.
Karena yang ku tahu
hanya sebatas aku
bagian dari
dirimu
Ibu

Wejangan Malam Ini

Tiba seorang anak laki laki
Yang seharusnya tahu,
bagian kecil dari dalam dirinya,
menjelma
Dia berjalan memutar
Ke arah
langit yang terang oleh surya
atau malam dengan titik terang

Sedikit dirasakan
Sebuah kain yang dilukis indah
dengan tinta keemasan
Ditenun pemintal cantik
serta benang yang tajam

Diraupnya padi telah dipetik
bahkan digenggam erat
tak ingin dilepaskan

Rabu, 16 November 2016

Ini Hujan

Sungguh ini hujan
Dalam baktian titik muai sebuah logam
Atau ribaan bendera sang merah putih

Sungguh ini hujam
Menerpa indah di suatu dinginnya malam
Atau menyemai syahdu rerumputan perih

Hujan yang menghujam
Ada logika berbicara
Saat seorang anak melangkah terbirit
Mengikuti air mengalir di selokan
Oleh hujan yang menghujam

Tahun ini banyak wacana
Tentang politik para dunia
Dengan manusia berwarna
Tingkah lucu para jejaka
Mengambil handuk orang tua
Tanpa tahu tata krama

Sumpah ini hujan
Dari awan untuk kawan
Dari air untuk marinir
Dari angin untuk beringin
Untuk sebuah wawancara dunia

Hanya sebuah hujan

Selasa, 15 November 2016

Gak Pernah Benar-Benar Tahu

    Kita gak pernah benarbenar kenal satu sama lain. Kita gak pernah benar-benar tahu kekurangan dan kelebihan kita masing-masing. Kita bahkan gak benar-benar tahu tentang siapakah diriku atau dirimu.
    Kita hanya sebuah ikatan yang sebatas, sebatas teman. Tanpa perlu lebih dalam lagi ingin tahu atau peduli tentang diriku atau dirimu. Bahkan ketika mencoba berjaga untuk menjadi lebih baik dengan sebuah canda, kita gak pernah benar-benar tahu bahwa itu sebuah canda. Bisa saja menggoreskan luka dengan mudah di hati. Karena kita tidak pernah benar-benar mengenal satu sama lain. Jadi jangan pernah menganggap kita ini saling dekat.
    Kita bahkan tak pernah tahu tepatnya di mana tempat tinggal kita. Tak pernah tahu apa tujuan masing-masing dan tak akan pernah tahu apapun tentang diriku atau dirimu karena kita hanya sebatas teman. Ikatan teman hanya sebuah legalitas antara hubungan ini. Aku dan dirimu yang saling menggores tanpa sengaja melalui cara yang tak pernah kita tahu apakah itu sepadan dengan hubungan kita. Sebatas teman.

Tertawa melukai, menangis menyenangkan.

Minggu, 13 November 2016

Seandainya Sedekat Itu

Seandainya aku sedekat itu denganmu
Layaknya darah dalam nadiku
Jika terputus,
Sudahlah lupakan

Andai saja begitu
Lalu aku masuk di lubukmu
Serupa angin masuk pikiranmu
Bagaikan bara membakar di dadamu

Lalu kuselipkan kelingking ini
Mengusap indah kelopak matamu
Atau rindu pada diriku
Yang dulu sempat berseri

Andai saja sedekat itu aku dan dirimu
Kukaitkan pita manis di bajumu
Atau menghiasnya dengan bunga bunga
Lalu melangkah penuh keanggunan nyata

Sudahlah lupakan

Kuharap sentuhan pada hujan,
mengalir mesra di keningmu
Kuharap sentuhan perasaan,
memasuki ruang rindumu
Kuharap kenyamanan,
bersama orang-orang yang kau rindu

Sabtu, 12 November 2016

Sampaikan Saja

"Sampaikanlah pada Ibuku
Aku pulang terlambat waktu
Ku akan menaklukkan malam
Dengan jalan pikiranku

Sampaikanlah pada bapakku
Aku mencari jalan atas
Keresahan-keresahan ini
Kegelisahan manusia." 
Eros ft Okta (ost.Gie)

Harus pulang dan berpisah
Dalam kelam namun resah
Ada gundah para remaja
Berbisik keras tanpa rima

Pikir lagi ini sebuah lompatan
Logika perasaan atau persimpangan
Antara aku dan pendusta
Atau dia dan seekor rusa

Ragu
Ragu ku ragu
Percik air indah nian bersahabat
Sentuh ricik dari embun di dedaunan hebat

Lalu pulanglah daku
Dan sampaikan semuanya pada Ibu dan Bapak ku

Jumat, 11 November 2016

Aku adalah Separuh Dirimu yang Dulu

Aku adalah senandung rindumu. Tiada akhir kukatakan ketika dulu bersamamu. Rintihan pelukan atau sandaran senyuman lihai dalam perakapan atau ungkapan. Tentang rindu atau tentang dirimu. Dulu

Aku adalah merpati yang sering pulang malam. Tak pernah tahu jalan pulang. Karena aku terhimpit bebatuan besar melewati randu ataupun pilu, dulu.

Aku adalah rintik pelangi yang memuai karena cahaya langit. Menyebar di permukaan memperindah birunya awan, atau menghiasi atap rumahku. Diriku

Sudahlah biarkan aku hanya memupuk sebelah lengan. Menyingsingkan kaos kaki bekas sebelah kiri. Tanpa mengancingkan lengan kanan. Kacau.

Kini jelas terlihat kacau diriku, ataupun dirimu yang tlah rapuh dari peradaban perasaanku. Berbagai titik-titik embun tak pernah mampu menyenyapkan. Sebuah benang yang kusut di dalam tumpukan para rumput kering.

Atau dirimu.

http://sahabatmudiny.blogspot.co.id/2016/11/ketakutan-yang-berbisik-lirih-part-1.html